Oleh : Faisal Manoppo (Wartawan Harian Komentar)
Air laut di pantai keruh berminyak; sampah berserakan sejauh mata memandang; aroma tak sedap menyengat di mana-mana; adalah pemandangan yang tidak jarang dijumpai ketika alam menjadi objek wisata. Banyak contoh—tidak usah jauh-jauh: Pulau Bunaken. Satu akar penyebabnya bukan siapa melainkan manusia itu sendiri.
Jauh sebelum pulau ini menjadi wisata bahari yang terkenal di dunia (khususnya para penyelam),—bahkan telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia asli Indonesia oleh UNESCO mulai tahun 2005—Bunaken memiliki keindahan alam bawah laut yang fenomenal. Sudah akrab ditelinga, keeksotisannya Bunaken menghantarkan Kota Manado diincar oleh turis mancanegara.
Namun kini, Bunaken tidak lagi memberikan keindahannya yang alami. Dia tercemar. Sampah-sampah akibat melonjaknya wisatawan yang datang menjadi pemandangan ‘aneh’ di pulau ini. Tidak heran wisatawan mulai mengincar destinasi pulau atau pantai lain yang belum banyak dijamah manusia. Bunaken mulai dilupakan. (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/04/30/o6frkx284-gubernur-bunaken-tercemar-sampah,http://travel.kompas.com/read/2012/06/11/15251259/Taman.Wisata.Laut.Bunaken.Mulai.Tercemar)
Pulau Lampu, di Desa Posilagon, Kecamatan Pinolosian Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, tidak bisa terhindar dari ancaman yang menimpa Pulau Bunaken. Wisatawan lokal haus dengan suasana alam yang masih ‘perawan’, cepat lambat bakal menyerbu pulau di ujung Timur daerah ini. Kunjungan manusia tidak dapat dielakkan. Mereka membawa beragam bekal: kaleng minuman, plastik gelas air mineral, bungkusan cemilan plus rokok; dan aktivitas terakhir mereka sebelum beranjak dari pulau ditutup dengan bersih-bersih piring sisa makanan berminyak. Belum dihitung buang hajat besar dan kecil. Kegiatan kecil ini tiap jam bakal dijumpai seiring kedatangan pengunjung.
Pulau Lampu (https://dutademokrasi.com/2016/11/pulau-lampu-sepenggal-surga-yang-hilang/) menanggung seluruh aktivitas manusia mengisi libur akhir pekan mereka. Warga setempat patut waspada menerima tiap para pengunjung. Tidak terkecuali pemerintah yang gemar mempromosikan alamnya. Mendulang pendapatan asli di desa dan daerah bagian dari misi guna mensejahterakan masyarakat. Namun lebih dari itu, pencemaran lingkungan adalah taruhannya.
Sebelum Pulau Lampu penuh sampah dan kotor, sebelum pada akhirnya terlambat pencemaran tidak bisa ditangani, pulau ini harus mendapat ‘pengamanan’ ketat.
Bekal aneka makanan dan sejenisnya yang menjadi sampah, wajib dibawa kembali. Pulau Lampu bukan tempat sampah. Limbah cair aktivitas manusia dikelola dengan pertimbangan serius dampak kelestarian.
Syahdan, tanpa semua itu sekalipun, Pulau Lampu akan tetap lestari dan alami tanpa manusia. Dia dapat bebas dari ancaman tercemar dan segala gangguan ekosistemnya tanpa dijamah manusia. Pulau Lampu tidak butuh bantuan manusia untuk menjaga utuh kealamiannya. (***)