Penulis: Faisal Manoppo- Orang Mogolaing
Kali ini saya harus mengatakan jujur, entah harus memulai dari mana cara menghadapi tulisan seburuk Sehan Ambaru. Orang yang membaca harus menyimpan nafas sedalam mungkin kalau tidak ingin tersedak mati kemudian. Hamparan kata demi kata tak beruang (paragraf) saling berhimpitan bak rumah susun bermasalah. Dari kejauhan saja, pemandangan rumah kumuh masih lebih elok ketimbang tulisannya. Ampuun..tulisannya Ndeso sampe di ubun-ubun.
Sudah demikian, saya harus rela berusah payah mencoba memahami maksud tulisan yang timbul dari alam gaib pikirannya. Apa yang di pikirkan tidak sejalan dengan bangun rangkaian kata menjadi kalimat yang dimaksud menunjukkan kedunguan tak terhingga. Dengan membaca judul dan sepenggal kalimat saja (lihat– https://dutademokrasi.com/2017/05/si-gila-dari-gua-hantu/), pembaca sudah dapat menggambarkan kemampuannya berpikir yang tidak linier: mana kepala, mana tubuh, dan mana ekornya.
Baiklah, tulisan ini berangkat dari apa yang perlu saya ditanggapi—karena lainnya hanya beking pusing banyak urusan. Sehan, perlu Anda ketahui, hampir sembilan tahun saya beradaptasi dan membaurkan diri dengan masyarakat di Kabupaten Bolmong Selatan, nyaris tidak ada satu pun soal yang buat Anda gila urusan. Sepanjang masa itu, saya dan banyak orang mungkin tahu, Anda disibukkan dengan banyak kepentingan—lebih tepat mendatangkan hasil—di sejumlah daerah.
Belakangan kiprah pria gila urusan ini mulai melebar. Dan saya sudah menyangka, pria pandai bersilat lidah ini kehabisan amunisi. Kehadiran Anda tiba-tiba mengomentari hajat hidup orang di Bolmong Selatan, tidak lebih mempertontonkan dirinya nyanda ada hambak. Apalagi dengan modus baru seolah memberi perhatian terhadap orang yang tidak perlu diperdebatkan—soal ini akan saya bahas terpisah. Cara hidup mengais dengan memperalat nasib orang, adalah benalu yang harus ditebas.
Sehan Ambaru yang saya kenal, bukanlah petarung individual. Dia punya rekan—yang tidak kalah gila urusan—guna membantu manuver-nya. Mereka kerap duduk melingkar ditemani secangkir kopi sembari membahas ‘bahan-bahan’ apa yang layak dijadikan objek. Dalam hal ini untuk sementara saya sebut mereka “Tiga Kurcaci”. Kisah kurcaci bertubuh mungil nan bontet ini peringainya senang mengganggu orang. Bagi yang merasa pernah diganggunya, tendang pantat mereka sekuat-kuatnya.
Saya patut menduga, objek lahan garapan mereka sudah habis tergarap, yang membuat tiga kurcaci ini kemudian pindah lahan garapan yang baru. Tidak heran, hasil bahan pemikiran yang dikemas ‘apik’ namun tetap saja gamblang, dicoba untuk dilempar. Ah, ‘celana tua’. Gembar-gembor yang diumbar di jejaring sosial menampakkan tanduk dan ekor bulus tiga kurcaci ini—oiya, sudah mungil bontet, bertanduk pula. Saya belum menghitung siapa otak di balik akal bulus mereka. Yang satu ini, bakal menjadi urusan saya.
Tersebab Sehan Ambaru populer dengan gila urusan, saya tidak perlu menyampaikan apa motiv tulisan ini. Satu yang perlu dicatat, kiprah di mana Anda senantiasa tengah mencari-cari urusan, siapapun dapat menduganya bahwa Anda punya motivasi yang patut diragukan. Mungkin maksud ingin membela, namun niat sudah terduga. Sungguh amat disayangkan, bila perilaku seperti ini tercermin pada diri Anda. Sudah begitu, tabiat suka mencari-cari orang pe urusan masih saja dilakoni, telah melekat pada karakter diri Sehan Ambaru.
Sampai dengan detik ini, mata saya tetap awas pada upaya-upaya yang gila urusan tidak perlu. Saya sedang tidak dalam gila urusan, melainkan mawas terhadap mulut berbisa berkepala dua. Di penghujung tulisan ini saya berpesan, kalau so nda mampu mo balas ini tulisan, jang ba paksa au Sehan.. (***)