Wajah cengengesan tidak tahan saya luapkan ketika membayangkan sedemikiankah repot dan kalutnya cara menghadapi tulisan (sebelum) ini sehingga harus merengek meminta bantuan. Tulisan—yang saya anggap malah mempertontonkan kepandirannya—(katanya ditulis) Sehan Ambaru (lihat:https://dutademokrasi.com/2017/05/analisa-sempit-faisal-manoppo/), ini sepintas nampak sedikit ada kemajuan meski hanya beda seujung kuku dengan tulisan (sesungguhnya) yang pertama (buka:http://www.bolmora.com/2017/05/07/si-gila-dari-gua-hantu-tanggapan-atas-tulisan-faisal-manoppo/).
Tidak jadi soal siapa dan apa, maksud menggantikan peran dengan penulis ‘misterius’ yang membelakangi Sehan Ambaru. Lagi-lagi, saya harus memberi nama si peran pengganti tulisan terbarunya ini. Dengan penuh takzim saya menyebutnya, Kalumba. Menurut hikayat orang kampung, mahluk kalumba ini bukan manusia melainkan jin menyerupai hewan. Namun tidak sedikit juga yang mengisahkan, peringai mahluk aneh ini sama dengan tuyul. Dia menampakkan dirinya dalam wujud tidak sempurna. Kalumba hanya bisa melihat ke belakang dengan menunggingkan bokongnya. Setelah terhadap Sehan Ambaru, saya kembali mengatakan, “Hey, Kalumba.. Ngana lei jang iko ba paksa?”
Beberapa teman ASN di Kotamobagu berkomentar—kurang lebih—mengamini laku Sehan Ambaru yang melekat dirinya sebagai pejabat ASN di lingkungan Pemkot Kotamobagu, terkenal gemar dengan gila urusan. Sebagian juga menilai, sebegitu hebatnya dia hingga mencampur-urusi urusan ‘dapur’ daerah tetangga. Ada juga yang menyoroti tingkah yang bersangkutan ini sangat tidak etis dan tidak mencerminkan seorang ASN.
Menyandang ASN tidaklah mudah. Mereka terikat dengan pedoman perilaku yakni Kode Etik; yang di dalamnya terkadung nilai-nilai yang mencerminkan pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan ASN didalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik ini memayungi tiap insan ASN bagaimana cara beretika dalam bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, sesama PNS, dan terhadap diri sendiri.
Sejurus, pertanyaan ini timbul, cerminan kode etik seperti inikah yang ditunjukkan oleh seorang Sehan Ambaru? Bila tidak demikian, patutlah saya memvonis penggemblengan pra jabatan CPNS terhadap Sehan Ambaru, praktis gagal.
Masih seperti yang sudah-sudah, Selasa (9/5) lalu, (entah datangnya dari dunia gaib mana) sebuah media online memberitakan Sehan Ambaru datang melapor ke Polres Bolmong. Dia merasa nama baiknya dicemarkan oleh seorang pejabat asal selatan Bolmong raya. Saya heran, dia yang memulai, kok malah melapor? Tidak perlu saya paparkan panjang lebar perihal aduannya di pihak berwajib. Sejagat raya netizen di Bolmong raya ini tahu persis bagaimana kelakuan Sehan Ambaru menyerang seorang pejabat daerah dengan kata-kata menghasut dan tidak etis. Saya menyarankan kepada yang terhormat bapak polisi, tidak harus repot meladeni laporan itu. Atau setidaknya, sebagai pengayom masyarakat, boleh cukup sebatas melayani saja. Selanjutnya, berkas laporan hanya tepat dibuang di lubang kloset.
Tidak hitung lebih dari tiga hari setelah di-BAP, (apa isi dalam batok kepalanya) si pelapor ini memaklumatkan permohonan maaf kepada terlapor. Inkonsistensi keperibadiannya sangat kontras ketika, Jumat (5/5), di jejaring sosial, Sehan Ambaru begitu semangat dan percaya diri menyerang terlapor. Sandiwara ndeso macam apa ini?
Tibalah tabir tersingkap. Drama picisan murahan yang di-main perankan oleh Sehan Ambaru—lengkap dengan sejawatnya—, kalumba dan dua kurcaci, terang benderang mengobok-obok daerah tetangga. Terkait permintaan maaf yang ditulis—original tulisan diragukan—di akun pribadi media sosial, saya hanya bisa kasih tanggapan dua kata saja: Beking sayang. (***)
Penulis adalah Faisal Manoppo warga Mogolaing