Masih segar dalam ingatan kita sosok bijak Moh. Hatta. Ia adalah salah satu figure pemersatu bangsa ini. Pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan bagian timur yang menemuinya mengusulkan agar ‘preambule’ “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus.” Jika tidak, maka rakyat Indonesia bagian timur memisahkan diri dari NKRI yang baru saja diproklamasikan.
Usul ini kemudian oleh Moh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya para tokoh-tokoh Islam. Moh. Hatta pun berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan akhirnya, tokoh-tokoh Islam kala itu merelakan prembule tersebut dicoret. Tak berlebihan, peristiwa itu adalah peristiwa yang sangat bersejarah demi kelangsungan NKRI yang kita cintai ini. Sejarah memang tidak boleh dilupakan dan selama 72 tahun itupula kita hidup rukun.
Kini, keprihatinan kita tentang kondisi kerukunan umat beragama sedang terkoyak dengan beberapa peristiwa yang berbuntut aksi massa sampai yang paling mengerikan yakni; referendum. Persoalan ini tidak hanya membutuhkan jawaban dari para pemimpin bangsa – dan menurut pendapat saya – perlu adanya kesadaran bagi seluruh masyarakat bangsa ini. Seperti halnya yang ditunjukkan oleh masyarakat desa Posilagon. Desa yang terletak di bagian Ujung Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan ini, masyarakatnya plural dan majemuk. Sejak kedatangan saya disini untuk melaksanakan tugas sebagai guru, saya begitu kagum melihat masyarakatnya yang hidup rukun dan berdampingan. Semua dihargai tak hanya beragama bahkan keanekaragaman suku dan budaya pun diberikan kesempatan berkembang. Padahal, jika merunut sejarah desa ini awalnya adalah sebuah pe-du-kuh-an yang dimiliki oleh keluarga Dilapanga (Mongondow).
Kini, berbagai suku mendiami desa ini diantaranya; suku Mongondow, Sanger, Minahasa, Gorontalo dan beberapa suku lainnya. Semboyan “Torang Samua Basudara”, disini (Posilagon), benar-benar dipraktekkan sampai pada tataran akar rumput. Ditengah maraknya isu berbau SARA yang paling gres dimunculkan akhir-akhir ini, justru masyarakat desa Posilagon tidak mudah terpancing. Masyarakat disini tak asing lagi yang namanya isu yang berbau SARA. Apalagi jika dikaitkan dengan momentum politik. Buktinya saja, Sangadi desa Posilagon beragama Islam padahal masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Membincangi Posilagon, memang “Tak ada habisnya”. Mulai dari kerukunan antar umar beragama, keanekaragaman suku, budaya, bahasa, pariwisata pulau lampunya yang sangat mempesona serta potensi alam yang kaya seperti; cingkeh, kelapa, pala dan lainnya yang sangat menjanjikan.
Sungguh membuat saya takjub! Begitu pula budaya gotong-royong yang secara turun-temurun terus terjaga. Kendati berbagai kesibukan yang mereka kerjakan – namun jika ada kegiatan keagamaan – berbondong-bondong masyarakat terlibat berpartisipasi. Disini tidak ada pengusiran maupun pelarangan orang beribadah, karena kebebasan beribadah antar pemeluk agama lainnya sangat dihormati. Nuansa religius benar-benar terasa karena masyarakatnya sangat menghargai dan memahami orang beribadah.
Sisi menarik lainnya adalah keramahan masyarakat Posilagon yang sangat berkesan dan bersahabat bagi siapa saja yang ingin tinggal ataupun sekedar datang belajar tentang kerukunan antar umat beragama disini, Posilagon di ujung timur Bolsel.
Penulis : Subagio Manggopa – Orang Bolaang