“Laisal fataa man yaquulu kaana abii, walakinnal fataa man yaquulu haa ana dza!” Artinya adalah,
“Bukanlah seorang pemuda bila ia berkata ‘Inilah Bapakku’, tetapi yang dikatakan pemuda adalah dia yang berkata ‘Inilah aku!.” – Sayyidina Ali Bin Abi Thalib.
“Dan setiap kali aku menemui masalah-masalah besar, yang kupanggil adalah Pemuda.” – Umar bin Khattab.
“Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” – Bung Karno.
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda.” – Tan Malaka.
Bangun pemudi-pemuda Indonesia, tangan baju mu singsingkan untuk negara, masa yang akan datang, kewajiban mu lah, menjadi tanggungan mu terhadap nusa, menjadi tanggungan mu terhadap nusa.
Itulah penggalan lagu bangun pemudi pemuda yang diciptakan oleh Alfred Simanjuntak pada masa penjajahan Jepang tepatnya di tahun 1943.
Alfred yang merupakan seorang guru dan komponis, saat itu masih terbilang muda sebab baru berusia 23 tahun.
Seperti judulnya, lagu ini memang bisa membangkitkan semangat para pemuda.
Lalu pertanyaannya, apakah sudah bangkitkah semangat pemudi pemuda untuk mengisi kemerdekaan saat ini?
Atau malah kita terlelap oleh sejarah keberhasilan perjuangan pemuda masa lalu?
Semoga saja tidak, sebab keberhasilan suatu Negara, suatu Daerah bahkan suatu Desa tolak ukurnya adalah bagaimana kontribusi pemuda nya dalam ruang-ruang apapun.
Tentu tidak sedikit keberhasilan pembangunan di suatu Negara Bangsa tidak lepas dari peran-peran pemudanya.
Kali ini, penulis mencoba memotret perjalan panjang keberhasilan pemuda sejak di level kampus hingga saat ini.
Tentu tulisan ini belum menyeluruh hanya merupakan sketsa sejarah suksesnya pemuda Poyowa Besar dalam berkiprah dalam politik kampus.
Penulis ingin membuka memori kolektif seluruh elemen masyarakat yang ada khususnya di Desa Poyowa Besar Bersatu.
Agar menjadi motifasi bagi orang-orang tua bahwa anak-anak muda pelajar Poyowa Besar cukup dikenal bahkan menjadi patron dalam gerakan-gerakan intelektual kampus.
Semoga ini menjadi pemantik bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok setidaknya memperbaiki generasi-generasi yang akan datang.
Dahulu, bisa dikatakan hampir tidak ada ruang-ruang ekpresi pemuda dalam mengekpresikan minat bakat pemuda itu sendiri.
Namun saat ini, hampir disetiap ruang-ruang ekspresi itu kita bisa menemukan ada pemudi dan pemuda disana.
Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi baik kepemimpinan maupun regenerasi organisasi berjalan cukup baik.
Hal ini tentu saja berkat kerja keras dari seluruh masyarakat yang ada, orang tua untuk mempersiapkan generasinya lebih baik melalui pemenuhan kwalitas pendidikan.
Yaah, bisa dikatakan cara pandang orang tua kita sudah mendekati maju sebab bisa menganalisa bahwa memenuhi pendidikan bagi anak-anak itu jauh lebih penting.
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) kita sekarang sudah cukup baik.
Terbukti jika dihitung, rata-rata setiap angkatan akademik, ada puluhan Sarjana yang diwisuda di kampus-kampus yang ada di dalam daerah maupun di luar daerah.
Hal ini tentu mempermudah kerja-kerja pemerintah desa karena sumber daya manusia nya telah tersedia.
Ibaratnya, pemerintah desa saat ini tinggal memanen dan menikmati hasil panenan itu.
Saya berikan contoh, misalnya pemerintah desa mencari tenaga ITE karena masih banyak yang kurang paham tentang ITE, maka tidak susah lagi sebab telah tersedia Sarjana-sarjana ITE di Desa.
Pemerintah ingin mencari tenaga pendidik, kita memiliki sarjana pendidikan yang cukup banyak untuk memenuhi itu.
Pemerintah ingin mencari tenaga kesehatan apalagi, karena hampir disetiap angkatan kelulusan, tenaga kesehatan yang cukup banyak diminati.
Pemuda Poyowa Besar dikenal Kritis Di Kampus
Penulis sedikit berbagi cerita pengalaman yang sampai hari ini tersimpan rapih dalam memori.
Saat aktif dalam gerakan-gerakan mahasiswa khususnya di Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Dua organisasi ekstra kampus besar di BMR bahkan dipimpin oleh Pemuda asli Poyowa Besar.
Misalnya di organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) BMR, itu diketuai oleh utat Tedi Makalalag.
Bahkan utat Tedi mampu mempertahankan eksistensi pemuda Poyowa Besar untuk kembali memimpin organisasi mahasiswa IMM setelah masa bakti kepengurusannya berakhir.
Terbukti setelahnya, IMM di ketuai oleh utat Mirza Lauma yang juga pemuda Poyowa Besar.
Di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) BMR saat itu diketuai oleh penulis sendiri.
Bahkan, tidak sedikit Komisariat, tidak sedikit Rayon di setiap organisasi mahasiswa (Cipayung Plus) yang ada di Kampus-kampus dalam daerah maupun diluar daerah, di ketuai oleh pemudi-pemuda Poyowa Besar Bersatu.
Bahkan ada pemuda Poyowa Besar yang saat ini konsen menjadi penulis, dia adalah sahabat Wahyu Andu.
Saat ini tergabung dalam Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya, yang konsen melakukan riset tentang sejarah BMR.
Dan masih banyak lagi lulusan-lulusan sarjana dibidang kesehatan, pendidikan, pertanian, ITE, bahkan pertambangan, dimiliki oleh Desa Poyowa Besar Bersatu.
Tentu Ini adalah keberhasilan, sebab sejak kuliah pemudi- pemuda ini telah membesarkan nama kampungnya sendiri.
Karena yang ditanyakan awal baik Dosen atau sesama mahasiswa itu adalah asal dari pemuda itu sendiri.
Maka akan kemana arah gerakan pemudi-pemuda itu?
Jika mereka ingin mengembangkan minat dan bakat, tentu pemerintah desa harus hadir.
Tidak bisa lagi alpa, acuh tak acuh bahkan ingin membungkam arah gerakan itu.
Jika pemerintah tidak bisa membantu secara kebijakan, setidaknya support kegiatan mereka.
Yang ingin mengembangkan potensi kepelatihan di bidang keolahragaan, support mereka, karena mereka ingin menyelamatkan adik-adik generasi dari ancaman komix dan ehabon.
Yang ingin mengembangkan di bidang ITE, support mereka karena masih banyak tenaga-tenaga di desa yang kurang menguasai ITE.
Yang ingin mengembangkan di bidang kesehatan, support mereka, karena mereka melayani masyarakat secara tulus.
Bagi mereka upah bukan menjadi tolak ukur dalam pelayanan kesehatan, bahkan sering mereka gratiskan.
Yang ingin mengembangkan pertanian, support mereka dalam meneliti pupuk, unsur hara tanah bahkan tanaman yang akan dibudidayakan.
Yang ingin mengembangkan potensi dalam politik, support mereka, karena mereka bisa memberikan pendidikan-pendidikan politik yang sesungguhnya kepada masyarakat.
Jangan biarkan gererasi emas kampung ini menjadi tamu di kampungnya sendiri.
Jangan biarkan mereka terasing dan terpinggirkan oleh gerakan-gerakan politik praktis yang hanya akan menumpulkan cara berpikir dan cara pandang masyarakat.
Biarkan mereka berkreasi seluasnya karena mereka adalah kaum-kaum intelek di kampung yang sudah ditempah dan diuji oleh ruang dan waktu.
Berikan mereka ruang-ruang itu karena siapa lagi yang akan mengisi kepemimpinan di desa 10-20 tahun kedepan jika bukan mereka.
Jangan lagi ada bahasa “ka mongo adi’ pa minta” kepada mereka, sebab bahasa-bahasa itu adalah bahasa kekalahan dan kemunduran intelektual.
Jika tidak, maka bersiaplah kita akan mengalami turbulence kepemimpinan di Desa.
Bahkan, kita sepertinya akan mendekati kearah Lost Generation (Generasi yang hilang) di desa.
Generasi yang kehilangan arah, tersesat, binggung, hingga kehilangan tujuan. Sehingga tidak tahu harus berbuat dan melakukan apa untuk kembali melanjutkan hidup.
Dan untuk orang tua-orang tua kami di kampung, Pangkoi in Bobato, Opod in bobato, Pangkoi in adat, Pangkoi in agama, gurangga, guyaguyang, mogutat bo motolu adi, dukung in kegiatan nami karena kami “ki adi’ in ripu”.
Jangan biarkan kami sendirian, temani, support kami, karena kami sadar bahwa hampir seluruhnya kami hanya anak dengan latar belakang orang tua yang sama-sama susah.
“Dika lumbuuon kami, sin kami ki adi’ bo ki ompu monimu.
“Naai hinaon, sin kami tonga bi moniat monompia kon ripu’ inta pinolobongan kon indua nami komintan.
Kami hanya ingin menjadi Bogani Ibantong-ibantong kecil, yang namanya termaksyur sebagai Bogani terkuat, pemberani, pandai dan tak pernah tunduk kepada siapapun yang akan menjadi lawan-lawannya.
Meminjam refleksi kritis A.S. Neil (1883-1973) dalam tulisannya.
“Saya percaya bahwa memaksakan apa pun dengan kekuasaan adalah salah. Seseorang anak seharusnya tidak melakukan apa pun sampai ia mampu berpendapat-pendapatnya sendiri bahwa itulah yang harus dilakukan.”
Habislah sudah masa yang suram
Selesai sudah derita yang lama
Bangsa yang jaya
Islam yang benar
Bangun tersentak dari bumiku subur
Bersambung….