Depok — Cara paling ampuh menekan jumlah perokok dan mengurangi konsumsi rokok di Indonesia adalah dengan menaikkan harga rokok setinggi-tingginya. Harga Rp 50.000 per bungkus rokok efektif untuk dapat mengatasi hal tersebut.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany menuturkan, jika harga rokok dibanderol sebesar Rp 50.000 per bungkus, maka banyak orang menyatakan akan berhenti merokok.
“Dari survei yang kami lalukan hasilnya seperti itu. Mereka sebut kalau harga rokok Rp 50.000 per bungkus mereka akan berhenti merokok karena harganya sudah sangat mahal,” ujar Hasbullah Thabrany kepada SP seusai dialog Rokok dan Perspektif Ekonomi di Ruang Promosi Doktor Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (15/10).
Dikatakan, pemerintah harus tegas untuk menaikkan harga rokok karena pemerintah bisa mendapatkan uang banyak dengan menaikkan harga rokok dan cukai rokok. Jika cukai rokok naik maka negara bisa mendapatkan pemasukan melebihi pemasukan dari tax amnesty.
“Pemerintah masih lebih berpihak pada industri rokok yang besar yang milik asing dan belum berpihak ke petani kecil dalam negeri. Tidak ada upaya sistematik luas untuk berdayakan petani tembakau untuk beralih ke tempat lain,” ujar Hasbullah.
Kementerian Kesehatan (Kemkes) dinilai Hasbullah juga masih lemah dalam menyosialisasikan bahaya merokok. Ini terlihat dari masih jarangnya iklan di media televisi, cetak dan radio tentang bahaya merokok.
“Idealnya Kemkes mengalokasikan Rp 2 triliun untuk menyosialisasikan bahaya merokok ini. Namun, nyatanya mana? Sepi sepi saja kita lihat bersama,” kata Hasbullah.
Gambar yang ada di bungkus rokok dikatakan Hasbullah tidaklah efektif untuk menakuti perokok untuk berhenti merokok. Hal paling efektif adalah menaikkan harga rokok hingga Rp 50.000. “Saya kira untuk tahun depan masih belum bisa terealisasi. Semoga bisa pada 2018-2019 itu pun kalau Pak Jokowi berani melakukannya. Penerimaan dari cukai rokok itu bisa mencapai Rp 150 triliun, bayangkan saja,” tegas Hasbullah.
Dalam mengatasi permasalahan rokok ini, lanjut Hasbullah, keyakinan dan keberanian pemerintah diuiji untuk berpihak pada rakyat.
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ayke Soraya menuturkan, berdasarkan penelitian lembaga mereka, beban ekonomi akibat konsumsi rokok sangatlah besar. Total pengeluaran negara untuk konsumsi rokok adalah sekitar Rp 378,75 triliun. Kerugian negara tersebut berasal dari hilangnya tahun produktif terkait kematian prematur masyarakat akibat konsumsi rokok, belum lagi untuk biaya kesakitan dan kecacatan akibat konsumsi rokok.
Selain itu, tren perkembangan produksi tembakau sejak 1990 tidak signifikan, begitu juga dengan produktivitas petaninya. Tata niaga tembakau di Indonesia saat ini juga tidak baik, cenderung menguntungkan industri rokok daripada petani karena harga dan mutu produk dinilai dan ditentukan oleh industri sehingga petani tidak memiliki kewenangan apa pun terhadap hasil taninya.
Prof Budi Hidayat dari CHEPS UI mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian CHEPS menunjukkan, prevalensi merokok akan turun ketika kenaikan cukai mencapai 438 persen atau sama dengan harga rata-rata per bungkus rokok, yaitu Rp 50.025. Penelitian ini didasarkan pada simulasi skenario cukai rokok, yaitu dengan estimasi fungsi permintaan, deteksi dampak harga terhadap partisipasi merokok, dan dampak skenario kenaikan cukai terhadap prevalensi, konsumsi rokok, dan pendapatan cukai.
Sumber: Suara Pembaruan